Membakukan Lafal "K"
Dimuat dalam harian Pikiran Rakyat, 23 September 2020
Membakukan Lafal “K”
oleh Mario Excel Elfando
Karena amat beragamnya logat di Indonesia, pembakuan lafal bahasa Indonesia menjadi hal yang agak sulit diwujudkan. Salah satu lafal bahasa Indonesia yang belum disepakati adalah perihal bunyi /k/ yang berada di akhir suku kata. Bunyi /k/ pada kata bapak, tidak, kakek, dan bakso umumnya selalu dibunyikan dengan [Ɂ] (bunyi hamzah atau konsonan hambat glotal). Sementara itu, bunyi /k/ pada kata rakyat, pendek, adik, dan rusak berbeda-beda pelafalannya. Ada yang melafalkan [rakyat], [pendek], [adik], dan [rusak], ada pula yang melafalkan [raɁyat], [pendeɁ], [adɪɁ], dan [rusaɁ].
Menurut aturan bahasa Melayu sebagai asal bahasa Indonesia, bunyi
/k/ yang terdapat pada akhir suku dilafalkan sebagai [Ɂ]. Jadi, duduk diucapkan
[duduɁ], masuk diucapkan [masuɁ]. Namun, akibat pengaruh ejaan dan logat
daerah, bunyi [Ɂ] tersebut sering diucapkan sebagai [k] (konsonan hambat velar
takbersuara) sehingga duduk dan masuk diucapkan [duduk] dan [masuk].
Badan Bahasa mengakomodasi kedua lafal tersebut. Dalam Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia, bunyi hamzah dianggap sebagai variasi bebas
atau alofon dari fonem /k/. Sekilas ini merupakan kebijakan yang adil, namun
dalam praktiknya hal ini kerap membingungkan penutur ketika berhadapan dengan
kata baru. Dalam KBBI, misalnya, terdapat dua kata istikmal yang
berhomograf. Satu diserap dari isti‘māl (dengan ain), satu lagi
diserap dari istikmāl (dengan kaf). Perbedaan lafal ini juga
terjadi pada kata pak [paɁ] yang merupakan kependekan dari bapak
dan kata pak [pak] yang berarti ‘bungkus’. Sayangnya, KBBI belum
memberikan petunjuk pelafalan untuk kata-kata yang demikian.
Untuk itu, saya mencoba mengusulkan pembakuan lafal /k/ sebagai
berikut. Kata-kata serapan dari bahasa Arab, apabila berbunyi ain atau hamzah,
hendaknya dilafalkan dengan hamzah (mengingat bunyi ain tidak ada dalam bahasa
Indonesia). Dengan demikian, kata makna, syarak, dan rukyat
sebaiknya dilafalkan [maɁna], [syaraɁ], dan [ruɁyat]. Namun, kata-kata yang
sudah sangat lazim dilafalkan dengan [k] tidak perlu diubah menjadi [Ɂ],
seperti iklan meskipun berasal dari kata i‘lān. Adapun
kata-kata serapan dari bahasa Arab yang mengandung bunyi qaf atau kaf hendaknya
dibakukan lafalnya menjadi [k]. Dengan demikian, kata maksud harus
diucapkan [maksud], bukan [maɁsud].
Kemudian, kata serapan dari bahasa Inggris atau Belanda seperti politik
dan maksimal harus dibakukan lafalnya dengan [k]. Kata serapan dari
bahasa daerah tertentu juga hendaknya disesuaikan dengan lafal dalam bahasa
aslinya. Kata berisik dan kagak yang berasal dari bahasa Melayu
Jakarta harus dilafalkan [berisik] dan [kagaɁ], tidak boleh dipertukarkan.
Selain itu, kata anak, adik, nenek, datuk, dan
tidak sebaiknya dilafalkan dengan hamzah karena bentuk pendeknya, yaitu nak,
dik, tuk, dan tak, tidak pernah dilafalkan dengan [k].
Adapun kosakata Melayu umum, seperti pendek, rusak, baik,
dan banyak, hendaknya dibebaskan pelafalannya, bergantung pada logat
daerah masing-masing.
Penulis, mahasiswa FIB UI
Comments
Post a Comment