Posts

Showing posts from 2019

Berbual dan Membual

Image
Dimuat dalam Harian Pikiran Rakyat , 21 Juli 2019 Berbual-buallah dulu, ya. Saya nak ke dapur sekejap. Begitulah gaya bahasa masyarakat pesisir Riau. Jika diubah ke dalam gaya bahasa yang lebih umum, kalimat itu menjadi, “Kalian mengobrol saja dulu. Saya mau ke dapur sebentar.” Sementara itu, di Malaysia kita dapat menemukan frasa perbualan harian yang mungkin membuat kita mengernyitkan dahi. Ini karena kata bual di Indonesia cenderung berkonotasi negatif. KBBI memang memberikan artian yang cenderung negatif pada lema bual , yaitu ‘omong kosong; cakap besar (kesombongan)’ seperti dalam kalimat Geli hatiku mendengar bual mereka . Namun, kata berbual dalam KBBI bermakna netral atau cenderung positif, yaitu ‘mengobrol, bercakap yang bukan-bukan’ seperti dalam kalimat Kalau sudah berbual, dia lupa akan waktu . Dalam pada itu, KBBI menyamakan kata membual dengan berbual . Padahal, kata membual tidak pernah digunakan dengan maksud ‘mengobrol’. Ini menimbulkan pertanyaan:

Dianggap Terlalu Formal, Padahal Biasa Saja di Tempat Lain

"Kertasnya tidak dikembalikan?" kataku. Sontak satu kelas tertawa. Aku paham. Bagi mereka kalimatku  terlalu formal. Ada kata tidak dan akhiran -kan di situ. Mungkin  akan terdengar normal jika aku berkata, "Kertasnya nggak dibalikin?" Pertanyaannya, apakah semua orang Indonesia bahasa informalnya  seperti itu? Apakah bagi semua orang Indonesia kedua unsur itu terdengar  formal? Kadang ada yang berkata, "Ih, bahasanya kaku banget,  sih." Ada juga dosen yang berkata, "Kita kalau bilang tidak  apa? Nggak . Rasanya ngomong sama dosen pun kita pakai nggak , ya.  Aneh kalau pakai tidak ." Padahal, setidaknya ada dua pengalamanku yang menunjukkan bahwa  kata tidak dan akhiran -kan juga digunakan dalam percakapan  sehari-hari orang Indonesia dan sama sekali tidak terasa aneh bagi penggunanya. Waktu di Yogya, temanku yang orang Gorontalo bertemu dengan  teman-teman SMA-nya. Kebanyakan mereka dari Gorontalo. Selama mereka 

Sedikit Cerita tentang Dialek Medan

Hari ini saya ingin bercerita tentang dialek Medan. Tadi di stasiun ketika saya menunggu kereta api, seorang perempuan yang duduk di sebelah saya bertelepon dalam bahasa Indonesia dialek Medan. Diam-diam saya mendengarkan dan mencatat kata/frasa/kalimat yang ia gunakan dalam dialek tersebut. Kira-kira berdosa, tidak, ya, melakukan itu? Apakah itu sama dengan menguping? Tapi kan tak mungkin juga saya berkata, “Kak, saya mohon izin mencatat kata-kata yang Kakak gunakan, ya?” Wkwk. Nah, ini beberapa catatan tentang dialek Medan yang menurut saya unik. Kalau menurut Anda tidak unik, juga tak apa, sih, wkwk. 1. Pulang dari pajak Kalau tidak salah, kata pajak dalam dialek Medan bermakna ‘kedai’. Itu ada di KBBI sebagai homonim ketiga. 2. Kenapa rupanya kau? Penggunaan kata rupanya dalam kalimat tersebut rasanya tidak digunakan dalam dialek Jakarta. 3. Masih kudiamkan Kalau di sini, rasanya jadi Masih gue diemin , ya? Orang Medan sering pakai imbuhan –kan. Waktu ma

Layung dan Lembayung

Image
Apa yang Anda pikirkan ketika mendengar frasa lembayung senja dalam puisi? Mungkin Anda membayangkan langit senja yang berwarna merah bercampur jingga. Namun, tahukah Anda makna awal kata lembayung ? Kata lembayung sebenarnya adalah nama tumbuhan gendola atau yang memiliki nama Latin Basella rubra . Tumbuhan ini memiliki batang berwarna ungu kemerah-merahan. Dengan demikian, tepatkah jika lembayung diartikan ‘warna merah bercampur jingga’? Kata lembayung seharusnya digunakan untuk menggambarkan warna violet yang muncul pada waktu senja, sesuai dengan warna batang tumbuhan gendola, bukan warna jingga. Pada awalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ) Edisi Ketiga memaknai lembayung sebagai ‘merah jingga’, tetapi kemudian KBBI Edisi Keempat merevisi makna tersebut. Dalam KBBI Edisi Keempat, kata lembayung bermakna ‘warna merah bercampur ungu’ atau yang kita kenal dengan warna violet. Sebagai informasi tambahan, dalam bahasa Melayu Malaysia terdapat istilah sinar ultral