Posts

Terjemahan Cerpen "Nāma ar-Rajul ba‘da al-‘Asyā’" Karya Nawal El Saadawi

Pria yang Tidur selepas Makan Malam Pria itu memandang wajah orang-orang sambil bersemayam di atas kursi sepuhan yang amat tinggi sehingga membuat kepala orang-orang sejajar dengan kakinya. Ia heran mengapa orang-orang memandanginya dengan hormat, padahal ia lupa mengenakan sepatu. Bagaimana mungkin ia lupa memakai sepatunya? Pertanyaan yang berputar-putar dalam dirinya dan hampir membawanya kepada kelinglungan ini telah meluapkan kesedihannya. Kepiluan yang amat dalam ia rasakan tiap kali ia melihat kakinya yang telanjang itu bertumpu pada kursi berlapis emas. Ia merasakan peluh bercucuran dari wajahnya. Jemari kakinya tampak kotor dan kukunya hitam. Lagi-lagi ia bertanya-tanya, bagaimana mungkin ia lupa mengenakan sepatunya sebelum keluar dari rumah, padahal ia sudah memakainya selama empat puluh lima tahun? Ia semakin heran tatkala melihat orang-orang memandangi kedua kakinya dengan penuh hormat. Pandangannya yang penuh tanda tanya dan kebingungan itu berubah menjadi rasa geli

Kalang Kabut

Image
  Dimuat dalam harian Pikiran Rakyat , 21 Agustus 2021 Kalang Kabut Mario Excel Elfando Kalang kabut . Kita sering mendengar dan mengucapkannya. Namun, kita boleh jadi bertanya-tanya, dari manakah asal kata tersebut? KBBI meletakkan frasa ini sebagai lema pokok dan mendefiniskannya ‘bingung tidak keruan’. Tidak satu pun dari lima homonim kata kalang dalam kamus tersebut menurunkan frasa ini. Lantas apa makna kalang di sini? Saya menemukan beberapa sumber di internet yang menyebutkan bahwa kalang kabut berasal dari bahasa Arab, kal-‘ankabut yang berarti ‘seperti laba-laba’. Menurut pendapat ini, orang yang kebingungan diumpamakan seperti laba-laba. Namun, saya sendiri belum menemukan sumber yang valid mengenai hal ini. Karena bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, saya mencoba menelusuri frasa ini di kamus bahasa Melayu. Dalam Kamus Bahasa Melayu Nusantara , kalang kabut dianggap sebagai varian Indonesia dari kelam kabut . Bentuk kelam kabut sering digunakan di Malaysi

Membakukan Lafal "K"

Image
  Dimuat dalam harian Pikiran Rakyat , 23 September 2020 Membakukan Lafal “K” oleh Mario Excel Elfando Karena amat beragamnya logat di Indonesia, pembakuan lafal bahasa Indonesia menjadi hal yang agak sulit diwujudkan. Salah satu lafal bahasa Indonesia yang belum disepakati adalah perihal bunyi /k/ yang berada di akhir suku kata. Bunyi /k/ pada kata bapak , tidak , kakek , dan bakso umumnya selalu dibunyikan dengan [Ɂ] (bunyi hamzah atau konsonan hambat glotal). Sementara itu, bunyi /k/ pada kata rakyat, pendek, adik, dan rusak berbeda-beda pelafalannya. Ada yang melafalkan [rakyat], [pendek], [adik], dan [rusak], ada pula yang melafalkan [raɁyat], [pendeɁ], [ad ɪ Ɂ], dan [rusaɁ]. Menurut aturan bahasa Melayu sebagai asal bahasa Indonesia, bunyi /k/ yang terdapat pada akhir suku dilafalkan sebagai [Ɂ]. Jadi, duduk diucapkan [duduɁ], masuk diucapkan [masuɁ]. Namun, akibat pengaruh ejaan dan logat daerah, bunyi [Ɂ] tersebut sering diucapkan sebagai [k] (konsonan hambat velar ta

"Siap" dan "Selesai"

Image
  Dimuat dalam harian Pikiran Rakyat , 29 Juli 2020 “Siap” dan “Selesai” oleh Mario Excel Elfando Bahasa Indonesia tumbuh di negara yang multikultural. Kendati bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu, ketika bahasa ini digunakan kadang kala terjadi kesalahpahaman antarpenutur dari dua daerah yang berbeda. Hal ini terjadi karena suatu kata bahasa Indonesia yang digunakan di satu daerah dapat memiliki makna atau konteks penggunaan yang berbeda dengan di daerah lain. Akun Twitter @mhuseinali dalam kicauannya pada tanggal 27 Maret 2020 mengatakan, “Orang Sumatera kalau ngomong ‘siap’ itu konteksnya sudah selesai. Already done . Orang Jawa kalau ngomong ‘siap’ itu konteksnya sudah prepare baru mau diselesaikan. Be ready .” Kicauan ini diamini oleh banyak orang dan di- retweet oleh lebih dari 15 ribu orang. Banyak orang membalas kicauan itu dengan cerita tentang kesalahpahaman yang mereka alami. Misalnya, kalimat Saya sudah siap mengerjakan ujian dipahami oleh orang Sumatra dengan

Deret dan Gugus Konsonan yang Belum Tercantum dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia

Image
Buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga halaman 78--79 mencatat 58 deret konsonan. Kemudian, di dalam TBBBI Edisi Keempat halaman 79--81 tercatat sebanyak 71 deret konsonan bahasa Indonesia. Namun, masih ada beberapa deret konsonan yang belum tercantum di dalam TBBBI . Beberapa yang saya temukan adalah sebagai berikut. /bf/     su bv ersi /bj/    a bj ad /bl/    ha bl ur, o bl ong /br/    a br asi, u br ak-a br ik /df/     a dv erbia, a dv okat /dh/     a dh esif, Idula dh a /dj/     a dj ektiva, a dj udikasi /dm/    pa dm a, a dm inistrasi /dr/    a dr enalin, sa dr an, pa dr i /ds/     a ds orpsi,  qu ds i /dy/    ma dy a /ft/     di ft eri, mu ft i /fd/      a fd al /fl/    ha fl ah, a fl uks, ga fl ah /gf/     isti gf ar, asta gf irullah /gl/    i gl o, a gl et, a gl utinatif /gr/    a gr aria /hm/    ra hm at /hs/     i hs an, mu hs in               bedakan dengan           /h ʃ/     da hsy at /hy/    ka hy angan /jw/     ta jw id /jm/    i jm ak, i jm al /jt/     i j

Menyelisik Jejak Cadar dalam Kebudayaan Nusantara

Image
Tulisan ini merupakan pos ulang dari Bincangsyariah.com dengan tambahan gambar Menyelisik Jejak Cadar dalam Kebudayaan Nusantara oleh Mario Excel Elfando BincangSyariah.Com – Cadar atau nikab biasa diidentikkan dengan budaya Arab. Pemakaian cadar kerap dianggap tak sesuai dengan budaya Nusantara. Pasalnya, pada masa kini pemakaian cadar tampak tidak lazim di Indonesia. Mengenai hukum bercadar, dalam fikih sendiri terdapat khilafiah. Bahkan, dalam mazhab Syafii sendiri para ulama berbeda pandangan mengenai kewajiban bercadar. Jika kita menengok penerapan mazhab Syafii di Hadramaut, Yaman, dapat kita lihat bahwa di sana hukum bercadar adalah wajib. Sementara itu, kebanyakan orang Indonesia berkeyakinan bahwa cadar tidaklah wajib. Padahal, terdapat teori bahwa mazhab Syafii yang dianut mayoritas orang Indonesia dibawa oleh penyebar Islam dari Hadramaut. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah dalam proses penyebaran Islam di Nusantara masyarakat memang tak p

"Pada" dan "Kepada"

Image
Dimuat dalam Harian  Pikiran Rakyat , 12 Januari 2020 Masalah preposisi dalam bahasa Indonesia agak rumit. Salah satunya masalah preposisi pada dan kepada . Ivan Lanin dalam tulisannya di Beritagar.id yang berjudul “Di, Ke, Pada, dan Kepada” menguraikan bahwa kata pada menandai posisi atau keberadaan (searti dengan di ), sedangkan kepada menandai tujuan atau arah (searti dengan ke ). Namun, faktanya penutur sering menggunakan kata pada untuk menandai tujuan atau arah. Misalnya dalam kalimat Aku tertarik pada pekerjaan itu dan Dia sangat marah padaku . Kata kepada dapat juga digunakan dalam kalimat-kalimat itu, tetapi kata pada lebih sering digunakan. Mengapa demikian? Paling tidak ada dua faktor yang mendorong penutur untuk menggunakan pada sebagai penanda tujuan. Faktor pertama adalah jenis verba yang digunakan. Berdasarkan maknanya, ada verba yang menggambarkan perbuatan dan ada yang menggambarkan keadaan atau pengalaman. Contoh verba yang menggambarkan perbuatan