Terjemahan Cerpen "Nāma ar-Rajul ba‘da al-‘Asyā’" Karya Nawal El Saadawi
Pria yang Tidur selepas Makan Malam
Pria itu memandang wajah orang-orang sambil bersemayam di atas kursi sepuhan yang amat tinggi sehingga membuat
kepala orang-orang sejajar dengan kakinya. Ia heran mengapa orang-orang
memandanginya dengan hormat, padahal ia lupa mengenakan sepatu.
Bagaimana mungkin ia lupa memakai sepatunya? Pertanyaan yang
berputar-putar dalam dirinya dan hampir membawanya kepada kelinglungan ini
telah meluapkan kesedihannya. Kepiluan yang amat dalam ia rasakan tiap kali ia
melihat kakinya yang telanjang itu bertumpu pada kursi berlapis emas.
Ia merasakan peluh bercucuran dari wajahnya. Jemari kakinya tampak
kotor dan kukunya hitam. Lagi-lagi ia bertanya-tanya, bagaimana mungkin ia lupa
mengenakan sepatunya sebelum keluar dari rumah, padahal ia sudah memakainya
selama empat puluh lima tahun? Ia semakin heran tatkala melihat orang-orang
memandangi kedua kakinya dengan penuh hormat. Pandangannya yang penuh tanda
tanya dan kebingungan itu berubah menjadi rasa gelisah yang berusaha menemukan
kebenaran, mulai dari kakinya yang bertelanjang hingga wajah-wajah yang penuh hormat.
Siapakah yang sesungguhnya buta? Matanya atau mata orang-orang?
Namun, ia tak mungkin mengetahuinya sendiri. Harus ada orang
bijaksana yang mengatasi rasa penasarannya akan kebenaran itu, maka dengan
jarinya sang raja menunjuk hulubalangnya. Hulubalang itu meninggalkan barisan
dan bergegas menghadap raja seraya berlutut.
Raja menunjuk kakinya, lalu bertitah, “Tengok!”
Pria itu mengayunkan matanya ketakutan seraya menatap kakinya,
kemudian berdatang sembah, “Patik melihatnya, Tuanku!”
Raja berkata dengan murka, “Katakan!”
Dengan gemetar, sang hulubalang berkata, "Apa yang Tuanku
ingin patik katakan?"
Raja berkata dengan panas hati, “Katakan apa yang kamu lihat!”
Sang hulubalang menatap ketakutan, lalu berkata, "Patik
melihat berkat kebahagiaan pada kaki Tuanku."
Ia membentak keras, "Kamu ini sudah butakah? Tidakkah kamu
melihat sesuatu yang janggal pada kakiku?”
Hulubalang itu berkata dengan gemetar, “Janggal? Tidak ..., tidak,
Tuanku!”
Raja merasa sedikit lega dan emosinya menjadi lebih tenang. Raja
bertanya, “Sukakah kamu akan warna sepatuku?”
Dengan yakin dan bersemangat, sang hulubalang menyahut, “Bagaimana
mungkin patik tidak menyukainya, Tuanku? Ini luar biasa, indah sekali!”
Tiba-tiba sang raja tersenyum dan berkata, “Pergilah!” Sang
hulubalang pun pergi. Sang raja menduduki takhta emasnya dengan bangga, lalu
kembali menengok kakinya yang bertelanjang. Lagi-lagi keraguan menghinggapinya.
Bagaimana ia yakin? Harus ada orang lain yang berbicara.
Raja menunjuk orang kedua dari prajurit pengawalnya dan menanyakan
ihwal yang sama. Orang itu memberikan jawaban yang serupa. Raja bertanya kepada
orang ketiga, keempat, dan kelima sampai menanyai seluruh hulubalangnya, tetapi
jawaban mereka tidak berbeda.
Maka lenyaplah keraguannya. Raja meyakinkan dirinya bahwa ia memang
bersepatu. Kelupaannya akan sepatu itu hanyalah ilusi yang muncul akibat
pikirannya yang letih. Teringatlah ia akan kebuncahan yang ia rasakan semalam.
Pikirannya penat kendati ia tidur di atas tilam yang empuk lagi hangat dan
sepanjang malam diangini oleh wanita molek berjari kurus dengan kipas dari bulu
burung unta yang halus.
Waktu demi waktu, ia mengulurkan tangannya dalam gelap. Ia
merasakan tubuh yang lembut, lalu memeluknya dengan kuat. Sayup-sayup terdengar
olehnya suara lirih, "Tuanku, apakah Tuanku ingin patik memijat kaki
Tuan?"
Dengan mata terpejam, ia menjawab dengan lemas dan malas, "Ya,
ya, pijat kakiku, Dayang!"
Malam itu akan menjadi malam biasa kalau saja dia tidak
mengingatnya. Ia pun membuka matanya dan memandang wajah wanita itu, lalu
berseru dengan gusar, “Pergilah, hai Dayang! Cukup!”
Dengan gusar dipanggilnya hulubalang, lalu berkata, “Mana
dia?"
Pria itu meremang ketakutan seraya berkata, "Dia menolak untuk
datang, Tuanku!"
Raja meradang, “Dia menolak?! Bagaimana mungkin? Tidakkah kamu
katakan bahwa ini titah raja?”
Sang hulubalang berkata, “Ya, Tuanku, tetapi dia menolak.”
Raja berteriak murka, “Tidakkah kamu beri tahukan kepadanya bahwa
aku dapat merebut rumahnya dan mengusirnya jauh-jauh dari kerajaanku?!”
Sang hulubalang berkata, “Ya, Tuanku, tetapi dia menolak.”
Raja menjadi berang. “Tidakkah kamu beri tahu dia bahwa aku dapat
mengirim bala tentaraku kepadanya untuk merenggut rambutnya dan menyeretnya ke
tiang gantungan?”
Sang hulubalang berkata, “Ya, Tuanku, tetapi dia menolak.”
Raja bangkit dari singgasananya dengan murka, “Bagaimana ini dapat
terjadi? Seorang wanita di tanahku, tetapi membangkang perintahku? Aku akan
menemuinya sendiri. Siapkan kudaku!”
Sang hulubalang berkata, “Menjunjung titah, Tuanku.”
Raja menunggang kuda dan menempuh jalan yang panjang lagi remang,
lalu ia melihat rumah dengan pintu yang tertutup dan tingkap yang terkatup.
Melalui celah kecil di pintu, seorang penjaga mengintip ke luar. Dengan penuh
wibawa, raja bertitah kepadanya, “Buka! Aku adalah raja!”
Pria membuka pintu dengan gentar. Raja pun
turun dari kudanya. Disusurinya lorong rumah yang gelap hingga ia melihat
secercah cahaya dari sebuah bilik. Ia mengendap-endap ke sana. Dari celah
pintu, ia menampak seorang wanita cantik tengah berbaring di sofa hijau bersama
seorang pria di sisinya. Bukan, di pangkuannya! Raja berdiri tertegun.
Kendatipun terpana, ia mampu mengenali wajah pria itu dan tahu bahwa pria itu
adalah salah satu rakyatnya.
Sang raja pun kembali ke istananya. Raja mengumpulkan hulubalangnya
dan memutuskan agar pria itu dibunuh dan kepalanya dibawa ke hadapannya di atas
talam emas. Maka kehendak raja pun terlaksana. Raja memandangnya dengan puas
dan berkata kepadanya, "Kamulah yang telah menghalangi jalanku, hai orang hina!”
Raja berbaring di atas ranjangnya yang hangat dan menitahkan agar
wanita itu dibawa. Seorang utusan datang dengan gemetar dan berkata, “Dia
menolak, Tuanku!”
Raja bangkit dengan marah dan menunggang kudanya. Ia pergi menemui
wanita itu, lalu melihat secercah cahaya terpancar dari bilik yang sama.
Melalui celah pintu, raja melihat wanita cantik itu berbaring di sofa hijau
bersama seorang pria di pangkuannya!
Raja kembali seperti orang gila dan memerintahkan kepala pria kedua
itu dibawa ke hadapannya di atas talam emas. Lalu pria ketiga, pria keempat,
pria kelima, sampai talam istana habis.
Raja memegang jemalanya kebingungan, lalu memanggil orang paling
bijaksana di kerajaan itu.
Datanglah orang bijak itu menghadap raja. Diceritakannya apa yang
ia alami. Terlukislah senyuman di wajah orang bijak itu. Ia pun bertanya,
“Adakah wanita itu pernah datang kemari untuk melihat istana, harta,
singgasana, hulubalang, serta kekuasaan Tuan?”
“Belum,” jawab sang raja.
"Artinya, wanita itu tidak mengenal Tuan, harta, kekuasaan,
dan keagungan Tuan,” kata orang bijak itu.
“Lalu?” tanya sang raja.
Orang bijak itu menjawab, “Tuanku harus mengundangnya ke sini agar
ia dapat melihat dengan mata kepalanya sendiri. Dengan begitu, ia akan terpukau
oleh kekuasaan Tuanku, maka ia pun tidak punya pilihan lain selain takluk
kepada Tuanku.”
Senanglah hati raja akan gagasan ini. Ia memerintahkan untuk
mengadakan upacara besar dan mengundang wanita itu ke istananya.
Bersemayamlah sang raja di atas singgasana tingginya yang terbuat
dari emas. Si pria bijak membawa sang wanita berkeliling dan memperlihatkan
kepadanya harta, mahligai, hulubalang, dan kedaulatan sang raja. Kemudian
dibawalah sang wanita ke hadapan raja.
Raja memongahkan dirinya di atas takhtanya yang sangat tinggi
sehingga kepala orang-orang sejajar dengan kakinya.
Bersabdalah sang raja, “Mengapa kamu tidak menaatiku?”
Wanita itu memandangnya dengan terperanjat dan tidak menjawab.
Raja berteriak marah, “Apa yang mengejutkanmu? Mengapa kamu tidak
menjawab?”
Dengan tenang, wanita itu menjawab, “Hamba terkejut karena melihat
raja tidak beralas kaki.”
Raja bangkit tergegau dari singgasananya.
Abdul Imam membuka matanya. Ia melihat bantal kumal di bawah
kepalanya dan mendengar suara dengkuran di sampingnya. Kelihatan olehnya seorang
wanita tertidur lelap laksana mayat, sebagaimana yang biasa ia lihat tiap malam
selama dua puluh tahun. Ia mendorong bahu wanita itu dan berkata dengan palak
hati, “Hai, perempuan! Ambilkan aku segelas air!”
Dalam keadaan masih bermimpi, wanita itu menggeram, lalu lanjut
mendengkur. Dia mendorong perempuan itu lagi dan berteriak marah, “Bangun!
Ambilkan aku minuman! Semoga Allah memutus napasmu sebagaimana engkau memutus
napasku dengan makan malam yang berlemak!”
Wanita itu menggelantang di katilnya seraya menggeram, lalu ia
bangun dan bersandar pada tiang katilnya yang hitam. Dengan rasa muak, ia
berkata dalam hati, “Kenapa kau tak ambil minum sendiri, dasar keledai!” Ia pun
pergi mengambil air.
Comments
Post a Comment